Sabtu, 22 Mei 2010

MEWUJUDKAN TRANSPARANSI PELAYANAN PUBLIK

I. PENDAHULUAN

Tidak dapat dipungkiri- bahwa baik di negara maju maupun di negara- negara berkembang apalagi di Daerah- birokrasi pemerintah masih mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peran yang dimainkan oleh pemerintah- mulai dari : peran mengatur kehidupan masyarakat ( regulative )- melindungi masyarakat ( protective)- mendistribusikan sumber daya kepada masyarakat ( distributive ) sampai pada pemberian pelayanan umum ( public service ). Dengan fenomena itu- tidak heran manakala Stiglitz ( 1988:1) dalam Ermawan Agus Purwanto : 2006- memberikan pameo from birth to death, our lives are affected in countless ways by activities of government !

Namun seiring dengan bergulirnya waktu- dominasi birokrasi dalam berbagai aspek dalam kondisi kekinian mulai dipertanyakan. Munculnya buku reinventing government ( Osborne dan Gaebler : 1992 ) menjadi moment monumental dipenghujung abad dua puluh- yang menggungat berbagai dimensi dan sepak terjang birokrasi yang selama ini telah ditasbihkan sebagai sesuatu yang given.

II. MENGAPA TRANSPARANSI PELAYANAN PUBLIK PENTING ?

Transparansi merupakan konsep yang sangat penting dan menjadi semakin penting- seiring dengan semakin kuatnya keinginan untuk terus mengembangkan praktik good governance- yang mensyaratkan adanya ruang khusus transparansi dalam seluruh proses penyelenggaraan ke pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan. Dengan kata lain- pemerintah pada setiap tingkatan, terutama pada level layanan yang bersentuhan langsung dengan penerima manfaat layanan- dituntut untuk terbuka dan menggaransi ruang yang dapat diakses oleh stakeholder’s terhadap berbagai sumber informasi tentang proses kebijakan publik- alokasi anggaran untuk pelaksanaan kebijakan dimaksud serta pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kebijakan tersebut.

Sejumlah point informasi mengenai tindakan pemberi layanan, misalnya : alasan yang melatar belakangi tindakan, bentuk tindakan yang diharuskan serta waktu dan cara melakukan tindakan dimaksud- harus tersedia bagi stakeholders dan masyarakat luas. Dengan leluasa mengakses berbagai informasi, secara tidak langsung dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk turut menilai sejauh mana keberpihakan pemerintahnya- telah mengakomodir kebutuhan dasar yang selama ini- menjadi harapan masyarakat.

Terhadap alokasi anggaran misalnya- masyarakat dan stakeholders berhak memperoleh informasi dari mana sumber anggaran diperoleh, berapa jumlah dana yang dialokasikan serta apakah pemerintah membelanjakan anggaran sedemikian itu- untuk kepentingan masyarakat luas ataukah hanya untuk sekelompok orang tertentu yang memberikan keuntungan daur ulang bagi dirinya sendiri ataukah hanya untuk kepentingan oknum- oknum aparat layanan tertentu saja.

Lebih dari itu- masyarakat dan stakeholders semakin perlu untuk mengetahui, apakah kebijakan yang diterapkan tersebut beserta sejumlah resourches yang mendukungnya, benar- benar menghasilkan kinerja yang terukur sesuai yang diharapkan atau tidak. Pengalaman adalah guru terbaik- kata orang bijak dan karena lasan tertentu, banyak kebijakan yang telah direncanakan tidak dapat dijalankan seperti yang direncanakan maupun banyak belanja yang digelontorkan- tidak seperti yang diharapkan.

III. BAGAIMANA TRANSPARANSI DITERAPKAN DALAM PELAYANAN PUBLIK

Apa yang dimaksud dengan transparansi dalam pelayanan publik ? barangkali jawabannya akan seringkali kurang jelas dan cenderung tumpang tindih dengan aspek- aspek good governance lainnya, seperti : akuntabilitas dan responsibility. Akan tetapi, sejatinya- konsepsi transparansi lebih pada aspek menunjuk pada suatu kondisi dimana segala aspek dari seluruh proses penyelenggaraan pelayanan dapat bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan mudah oleh para pengguna layanan dan stakeholders yang membutuhkannya.
Jika saja- segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan itu, seperti : persyaratan/ biaya dan waktu yang diperlukan/ cara pelayanan/ serta hak dan kewajiban penyelenggara dan pengguna layanan- dipublikasikan secara terbuka dan dapat diakses dengan mudah serta dipahami dengan benar oleh masyarakat- maka praktik penyelenggaraan pelayanan itu dapat dinilai cukup memiliki tingkat transparansi yang tinggi. Sebaliknya- sekiranya sebagian atau lebih banyak item dari seluruh proses penyelenggaraan layanan tersebut, cenderung sulit diperoleh informasinya dan terkesan tertutup- maka penyelenggaraan layanan dimaksud, belum memenuhi kaidah transparansi.
Dengan demikian- minimal tiga pakem utama, seperti : informasi tentang persyaratan- biaya dan waktu yang dibutuhkan serta hak dan kewajiban yang diusahakan berimbang dan proporsional, senantiasa harus menjadi brand dari setiap insan pengelolah layanan kemasyarakatan.

IV. PENUTUP

Transparansi- sekali lagi, sejatinya tidak hanya penting dalam penyelenggaraan ke pemerintahan saja tetapi yang lebih penting justeru pada aspek pelayanan publik- dimana dalam banyak kasus masih sering terjadi- meminjam istilah Agus Dwiyanto : 2006, penerima layanan/ masyarakat dan stakeholders bagaikan memasuki hutan belantara yang sangat sulit dilalui- kebanyakan bahkan hampir semua pengguna layanan tidak mengetahui sejumput persyaratan yang harus dipersiapkan- tidak mengetahui apa hak dan kewajibannya secara berimbang, karena yang dirasakan lebih dominan adalah daftar kewajiban yang tersaji dibeberapa papan pengumuman prosedur layanan yang disiapkan- sehingga masyarakat tidak dapat berbuat sesuatu karena haknya sebagai penerima layanan sering tidak diatur dalam prosedur yang ditetapkan.
Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban penerima layanan dengan penyelenggara layanan- mengindikasikan beberapa hal, antara lain :

  1. Kondisi ini menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar masyarakat selaku pemberi mandat pelayanan justeru dihadapan penerima mandat itu sendiri.
  2. Kedua : Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang sering ditemukan- menunjukkan inkonsistensi sikap, oleh karena dalam berbagai kesempatan sering dikatakan bahwa prosedur pelayanan sudah ditempelkan dilokasi- lokasi yang mudah terbaca- akan tetapi tidak disadari bahwa prosedur yang dicantumkan itu- lebih dominan mengatur kewajiban penerima layanan ketimbang hak- hak yang seharusnya juga disampaikan.

Jika demikian adanya- barangkali kita semua masih perlu merewain ilmu pengetahuan layanan yang telah dimiliki melalui berbagai diklat yang diikuti- tanpa harus melakukan studi banding dan sejenisnya- agar keseimbangan hak dan kewajiban antara penyelenggara layanan dan pengguna layanan- dapat terwujud secara proporsional dan professional.

Catatan : Opini dimuat Majene Mammis- Edis 11/ November 2009

Selasa, 18 Mei 2010

MASALAH MALARIA ; MASALAH KITA SEMUA

dr. Hj. Evawaty, M. Kes
PNS di Majene



I. PENDAHULUAN


Tulisan ini- sejatinya diilhami oleh pemberitaan pada salah satu page radar sulbar beberapa waktu yang lampau- yang mewartakan kasus malaria yang terjadi di salah satu Kabupaten di Sulawesi Barat- sehingga menginspirasi penulis untuk mencoba memberikan sedikit kontribusi pikiran mengenai upaya mengantisipasi, mengurangi dan menyikapi penyebaran salah penyakit yang masuk kategori penyakit menular ini. Meminjam istilah Sri Hudyastuti- Staf ahli Menteri Lingkungan Hidup Bidang Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan saat membuka Lokakarya Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan Hidup di Mataram beberapa waktu yang lalu- antara lain menegaskan bahwa : .....pada hakikatnya malaria merupakan penyakit berbasis lingkungan yang menjadi pola kesakitan dan kematian di Indonesia –yang mengindikasikan masih rendahnya cakupan dan kualitas intervensi kesehatan lingkungan. Sebagai salah satu rumpun penyakit reemerging atau yang biasa diistilahkan sebagai penyakit yang dapat menular kembali secara missal- membuat penyakit malaria hingga saat ini masih menjadi ancamam serius bagi masyarakat yang tinggal di daerah tropis dan subtropis, dimana pada kawasan tersebut- malaria sering menimbulkan kejadian luar biasa. Dari data yang dimiliki oleh Kementrian Kesehatan, terdapat sekitar 500 juta penduduk dunia terinfeksi penyakit malaria- dari jumlah tersebut lebih dari satu juta orang meninggal dunia. Apabila kita telusuri lebih lanjut, maka ditemukan bahwa kasus terbanyak menimpa masyarakat di Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah dan beberapa Negara bagian Eropa- serta beberapa negara Asia tidak terkecuali Indonesia.

II. BAGAIMANA KONDISI PENYEBARANNYA DI INDONESIA

Seperti diuraikan di atas, Indonesia merupakan salah satu negara yang masih sangat rentan dan berisiko tinggi terhadap malaria. Dari data yang ada pada Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Kementrian Kesehatan- tercatat hingga tahun 2009 sekitar 80% kabupaten/ kota di Indonesia masih termasuk kategori endemis malaria dan sekitar 45% penduduk bertempat tinggal di daerah yang berisiko tertular malaria. Pada tahun 2009 yang lalu- jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 1.143.024 orang menderita penyakit malaria- yang menurut perhitungan ahli ekonomi kesehatan, dari jumlah kasus tersebut- cenderung dapat menimbulkan kerugian ekonomi mencapai Rp. 3,3 triliun, nilai itu diasumsikan bahwa dari jumlah penderita malaria tersebut – menderita kerugian karena tidak dapat bekerja selama satu minggu serta mengeluarkan biaya pengobatan. Nilai dimaksud- belum termasuk biaya sosial yang terpaksa diterima, seperti : menurunnya tingkat kecerdasan anak maupun dapat mempengaruhi menurunnya kualitas sumber daya manusia yang bermuara dan berdampak pada penurunan produktivitas. Bagaimana kondisi pada tataran lokal ? dalam beberapa bulan terakhir di provinsi Sulbar ini, ternyata merupakan salah satu wilayah yang belum terbebas sepenuhnya dari penyakit malaria- bahkan disinyalir terjadi peningkatan kasus sampai pada kisaran 27% seiring dengan masuknya musim hujan, disamping beberapa faktor pemicu lainnya- antara lain : mobilitas penduduk yang tinggi, kondisi alam yang memungkinkan banyaknya tempat-tempat perindukan nyamuk seperti hutan, lagun disepanjang pantai dan tambak yang terlantar.

III. MENGENAL SELUK BELUK PENYAKITA MALARIA

Malaria adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh parasit jenis plasmodium. Dalam kasus penyebaran penyakit malaria, kita seringkali melupakan akar masalah mengapa penyakit tersebut bisa tersebar dan menelan korban jiwa dan serta cenderung menimbulkan kejadian luar biasa ( KLB ). Sejauh ini- penyelesaian masalah atau solusi yang umum dilaksanakan masih berkutat pada bagaimana mengobati orang yang sakit malaria ataupun mengupayakan memberantas nyamuk sebagai vektor bagi penyebaran parasit plasmodium yang menyebabkan tubuh seseorang menjadi sakit. Sehingga, meski dalam satu kasus program pemberantasan penyakit malaria dianggap sukses- namun beberapa waktu kemudian ketika semua orang mulai lengah- kehadiran penyakit itu malah muncul kembali justeru dengan ancaman yang lebih besar. Oleh karena itu, berkaitan dengan penyebaran malaria ini, paling tidak ada tiga faktor utama yang mesti mendapat atensi bersama dan saling berhubungan satu sama lain yaitu host ( manusia/nyamuk ), agent ( parasit plasmodium ) dan environment ( lingkungan ) sehingga penyebaran malaria potensial terjadi apabila ketiga komponen tersebut saling mendukung. Sebagai ilustrasi : pada aspek host intermediate- manusia bisa terinfeksi oleh agent dan merupakan tempat berkembang biaknya agent. Secara teoritik- kecenderungan orang terinfeksi penyakit malaria ini- dapat melalui media, sebagai berikut : usia, jenis kelamin, ras, sosial ekonomi, status perkawinan, riwayat penyakit sebelumnya, gaya dan cara hidup, hereditas ( keturunan ), status gizi dan tingkat imunitas. Media penyaluran infeksi tersebut di atas- sekiranya dirunut secara sederhana akan mempengaruhi sebagai berikut : menyangkut usia, anak-anak merupakan kelompok paling rentan terkena infeksi parasit malaria dan meski tidak mengenal perbedaan jenis kelamin, infeksi pada ibu yang sedang hamil menyebabkan anemia berat- beberapa ras manusia atau kelompok penduduk memiliki kekebalan alamiah terhadap malaria, orang yang pernah terinfeksi sebelumnya lebih tahan terhadap infeksi malaria. Demikian pula dengan cara hidup, berpengaruh terhadap penularan- misalnya tidur dengan kelambu relatif lebih aman dari infeksi parasit. Sementara itu, pada aspek sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah endemis malaria erat berhubungan dengan infeksi malaria, meski biasanya memiliki imunitas alami sehingga lebih tahan. Sedangkan orang dengan status gizi rendah juga bisa lebih rentan terkena infeksi parasit dibandingkan orang berstatus gizi baik. Sedangkan faktor lingkungan yang cukup memberi pengaruh antara lain lingkungan fisik seperti suhu udara, kelembaban, hujan, angin, sinar matahari, arus air, lingkungan kimiawi, lingkungan biologi ( flora dan fauna ) dan lingkungan sosial budaya. Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai jenis tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk karena ia dapat menghalangi sinar matahari. Pada aspek lingkungan sosial budaya dinilai punya peran luar biasa besarnya dalam penularan penyakit malaria- kebiasaan buruk sebagian masyarakat kita untuk berada di luar rumah sampai larut malam akan memperbesar jumlah gigitan nyamuk.

IV. BAGAIMANA UPAYA PENANGGULANGAN MALARIA ?

Sebagaimana yang terdapat dalam buku pedoman penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan Kementrian Kesehatan, 2009- antara lain disebutkan : dalam rangka mengupayakan untuk menekan angka kesakitan dan kematian- dapat dilakukan dengan memutuskan mata rantai penularan pada salah satu/ lebih mata rantai dengan cara sebagai berikut : 1. Memberantas vektor ( nyamuk penular malaria ) Upaya pengendalian vektor ini- sangat ditentukan oleh seberapa besar kepedulian dan peranserta masyarakat dalam menata lingkungannya secara kolaboratif dengan upaya penyuluhan berkesinambungan untuk merubah perilaku masyarakat dalam pemberantasan malaria, dengan melibatkan : PKK Desa/ Kelurahan , tokoh masyarakat, tokoh agama dan guru sekolah serta seluruh stakeholders yang berkepentingan- dengan kegiatan utama, antara lain : mengalirkan genangan air, membersihkan semak- semak belukar di sekitar rumah, program kandangisasi ternak yang dekat dengan lagun dan menempatkannya dekat tempat perindukan nyamuk, menyemprot dengan obat nyamuk, tidak tidur diluar kamar/ rumah kecuali memakai obat nyamuk/ kelambu, teratur minum obat sesuai petunjuk medis, melestarikan hutan bakau disepanjang pantai, merawat tambak dan membersihkan lumut dipertambakkan atau lagun secara teratur. 2. Menemukan dan mengobati penderita malaria. Pada aspek ini- kewaspadaan dini dalam upaya pencarian penderita oleh masyarakat perlu ditingkatkan terus : misalnya mencari warga pendatang yang berasal dari daerah endemis ke pusat-pusat layanan kesehatan, penderita malaria berat, penderita tidak sembuh ke fasilitas kesehatan terdekat dan mengadakan pengamatan secara dini terhadap keadaan yang potensial terjadinya kejadian luar biasa KLB.

V. PENUTUP

Upaya penanggulangan malaria sejatinya merupakan aktivitas yang komprehensif dengan mengutamakan aspek promotif- preventif dan kuratif secara bersinergi, dengan tujuan menurunkan angka kesakitan dan kematian serta mencegah bterjadinya kejadian luar biasa. Untuk mewujudkan kondisi tersebut serta mengupayakan cakupan hasil yang optimal- maka upaya preventif dan kuratif tersebut seharusnya sudah saatnya dilakukan dengan berkualitas dan terintegrasi secara kolaboratif dengan program lainnya- terutama yang tidak kalah pentingnya adalah merubah stigma diranah kesehatan selama ini- yang masih cenderung membenarkan kebiasaan menjadi membiasakan kebenaran dalam berpikir sehat, perilaku sehat dan hidup sehat pada masyarakat secara umum tidak terkecuali dan terutama dengan orang kesehatan itu sendiri.

Sabtu, 15 Mei 2010

MEWUJUDKAN ETIKA PEMERINTAHAN

I. PENDAHULUAN

Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban yang memungkinkan masyarakat dapat menjalani kehidupannya- secara wajar. Oleh karena itu, pemerintah diperlukan pada hakikatnya adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Pemerintah tidak dibentuk untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat- dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya, demi mencapai tujuan bersama.

II. MAKNA ETIKA PEMERINTAHAN

Konsepsi etika, sebenarnya sudah lama diterima sebagai suatu sistem nilai yang tumbuh dan berkembang pada peradaban manusia, sehingga dengan demikian- pada dasarnya etika berkenaan dengan serangkaian upaya yang menjadikan moralitas- sebagai landasan bertindak dalam tatanan kehidupan yang kolektip.

Nilai- nilai etika yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat, bukanlah sekedar menjadi keyakinan pribadi- bagi para anggotanya, akan tetapi juga menjadi seperangkat norma yang terlembagakan. Dengan kata lain, suatu nilai etika harus menjadi acuan dan pedoman bertindak yang membawa akibat dan pengaruh secara moral.

Dalam etika pemerintahan, terdapat asumsi yang berlaku bahwa melalui penghayatan yang etis yang baik, seorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan tentang kebaikan dan menjaga moralitas pemerintahan.

Aparatur pemerintahan yang baik dan bermoral tinggi, akan senantiasa menjaga dirinya agar dapat terhindar dari perbuatan tercela, karena ia terpanggil untuk menjaga amanah yang diberikan, melalui pencitraan perilaku hidup sehari- hari.

Dalam lingkup profesi pemerintahan misalnya, ada nilai- nilai tertentu yang harus tetap ditegakkan- demi menjaga citra pemerintah dan yang dapat menjadikan pemerintah, mampu menjalankan tugas dan fungsinya. Diantara nilai- nilai tersebut, ada yang tetap menjadi bagian dari etika dan adapula yang telah ditranspormasikan ke dalam hukum positip. Misalnya, tindakan kolusi dengan kelompok tertentu, lebih tepat dipandang sebagai pelanggaran etika- daripada pelanggaran hukum.

Mengapa lebih cenderung kepada pelanggaran etika ? hukum belum secara rinci mengatur tentang bentuk pelanggaran yang umumnya- berlangsung secara diam- diam dan tersembunyi.
Oleh karena itu, seorang aparatur pemerintah yang ketahuan melakukan tindakan kolusi, sekalipun tidak dapat selalu dituduh melanggar hukum- ia dinilai telah melanggar etika, sehingga secara profesional dan moral, tetap dapat dikenakan sanksi.

III. TUGAS POKOK PEMERINTAHAN

Secara umum, tugas pokok pemerintahan mencakup 7 bidang pelayanan, akan tetapi dapat lebih difokuskan lagi menjadi 3 fungsi yang utama, yaitu : Pelayanan ( service ), pemberdayaan ( empowerment ) dan pembangunan ( development ). Dipandang dari sudut etika, keberhasilan seseorang dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang diamanahkan, haruslah dapat diukur dari ketiga fungsi utama tersebut. Pelayanan yang baik- akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan yang setara- akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan yang merata- akan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Etika pemerintahan, seyogianya dikembangkan dalam upaya pencapaian misi tersebut, artinya- setiap tindakan yang dinilai tidak sesuai- dianggap tidak mendukung- apalagi dirasakan dapat menghambat pencapaian misi dimaksud, seyogianya dianggap sebagai satu pelanggaran etik.
Pegawai pemerintah yang malas masuk kantor, tidak secara sungguh-sungguh melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya, minimal dapat dinilai- telah melanggar etika profesi pegawai negeri sipil. Mereka yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi- kelompok- atau golongan- dengan merugikan kepentingan umum, pada hakikatnya telah melanggar etika pemerintahan.

Urgensi suatu pemerintahan pada level manapun, untuk memiliki pedoman tentang landasan etika bagi para aparatnya dalam rangka mengemban tiga fungsi pemerintahan, menjadi semakin penting dan dibutuhkan. Hanya dengan modal dasar kepribadian yang baik, aparatur pemerintah dapat dibina lebih lanjut- agar membangun komitmen moral yang lebih spesifik untuk mentaati nilai- nilai etika profesinya.

Pada saat yang sama, kewenangan- kewenangan yang melekat pada kekuasaan pemerintahan- perlu disusun dan dibagi kedalam struktur- struktur yang mengikat secara kolektip, saling membatasi, saling mengawasi dan saling terkait satu sama lain- sebagai satu mata rantai yang saling menguatkan. Sehingga, dengan memperkuat kepribadian dan berupaya mengakomodasi kepribadian yang baik- kedalam sistem yang baik, kecenderungan terjadinya power abuse, akan dapat ditekan sampai pada tingkat terendah.

IV. PENUTUP

Dalam pemahaman konteks tersebut, aparatur pemerintah seyogianya- menjadikan dirinya sebagai teladan di dalam pelaksanaan etika, hukum dan konstitusi- dengan kata lain, sudah bukan waktunya lagi, pemerintah dapat begitu saja mengambil hak milik orang lain- tanpa kewenangan yang jelas dan disertai pemberian imbalan atau ganti rugi yang wajar. Singkatnya, setiap warga masyarakat- berhak memperoleh pelayanan dan perlakuan yang adil dari aparatur pemerintah- berdasarkan nilai- nilai etika dan hukum yang berlaku.
Dengan demikian, Etika pemerintahan- tidaklah berdiri sendiri, penegakannya terjalin erat dengan pelaksanaan prinsip penerapan hukum. Itulah sebabnya, maka sebuah pemerintahan yang bersih, yang segala tingkah laku dan produk kebijakannya- berangkat dari komitmen moral yang kuat, hanya dapat dinikmati- oleh refresentasi pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat- dengan lebih baik.-
( Disarikan dari : Makna pemerintahan- tinjauan dari segi etika dan kepemimpinan, Muh. Ryaas Rasyid-2000 )

Catatan : Opini Majene mammis- 9 Maret 2009

***

Senin, 21 Desember 2009

BETULKAH SKPD PEMROV SULBAR- LEMAH ?

I. PENDAHULUAN

Ada dua hal yang patut dicermati pada hari Rabu 16 Desember 2009- paling tidak bagi penulis ataupun mungkin juga para pemerhati layanan kepemerintahan di jazirah Mandar ini khususnya mungkin pada tataran daerah penulis sendiri- mengapa ? karena ternyata- pada hari yang sama, dua moment yang saling terkait- pertama : dimedia utama masyarakat Sulbar- secara mencolok mencantumkan statemen gubernur sulbar pada halaman utama kolom Radar Mamuju dengan kalimat yang sangat memiriskan pembaca, Anwar Akui SKPD Masih Lemah dan kedua : pada saat mengikuti kunjungan kerja Komisi III DPRD Sulbar yang kebetulan menjadwalkan untuk mengunjungi Kab. Majene dan akan dilanjutkan di Kab. Polman.

Mengapa menjadi menarik untuk dicermati ? pertama : untuk kesekian kalinya ( yang penulis baca lewat media ) bapak Gubernur Sulawesi Barat selaku CEO kepemerintahan di Provinsi mala’bi ini- kembali mambattai kanunus sendiri menurut bahasa Mandar, karena dengan gamblang membeberkan kekurangan dan kelemahan anak sendiri yang nota bene siang malam berada dalam pengasuhan sendiri, sebuah rumah besar yang namanya Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. Curhat itu- atau apalah namanya, tentu saja sangat mengherankan sekaligus menggelikan- karena ternyata hingga lima tahun kita ber Sulbar- kita masih senantiasa mengeluhkan kelemahan anak sendiri, apanya yang salah ? apakah selama ini tidak dilakukan pembinaan yang serius ? kenapa mengurus anak sendiri saja menjadi tidak mampu ? saya khawatir- diantara kita sebagai masyarakat awam, akan melanjutkan pertanyaan berikut- sedang membina anak sendiri saja tidak becus, bagaimana mampu mengurus yang lain- yang mungkin dan tentu saja lebih besar, lebih berat, lebih sulit, lebih luas dan lebih segala- galanya.

Ke dua- ketika mengikuti acara penerimaan kunjungan kerja Komisi III DPRD Sulbar di Kab. Majene, dimana dalam sesi tanya jawab- Ketua rombongan maupun beberapa anggota Komisi III yang terhormat mengatakan, bahwa salah satu tujuan utama kunjungan kerja ini sekaligus dengan membawa beberapa SKPD Provinsi Sulbar yang terkait ( hanya pak Thamrin Syakur selaku Kadis Perhubungan yang hadir ), mempermaklumkan bahwa disamping untuk menyerap aspirasi yang terkadang tidak nyambung selama ini- yang paling utama adalah Komisi III mencoba menjadi mediator terbangunnya persepsi yang sama, bahwa sebenarnya harga sebuah barang yang selama ini terasa sangat mahal dan sangat sulit dilakukan yaitu koordinasi, ternyata- bukanlah jenis barang yang perlu dimitoskan- sepanjang ada keinginan untuk take and give secara bermartabat. Dari perspektif ini- patutlah kita memberikan apresiasi positip kepada DPRD Sulbar yang mencoba membantu menyelesaikan kerancuan manajemen kepemerintahan yang selama ini sebenarnya sudah dirasakan oleh daerah- daerah dan bahkan dalam banyak moment sering disuarakan oleh para Kepala Daerah masing- masing.


II. BAGAIMANA SEHARUSNYA KONDISI INI DIPERBAIKI

Apa yang dapat kita maknai dari dua moment itu ? Pada konteks pertama- tanpa bermaksud menggurui karena memang tidak dalam kapasitas itu, seyogianya tidak perlu seorang pimpinan terlalu sering meramu ungkapan yang sejatinya dapat menurunkan spirit dan melemahkan nyali dari aparat yang menjadi binaannya- akan tetapi justeru diharapkan senantiasa mengupgrade dengan membangun harga diri, memacu potensi yang dimiliki serta memotivasi setiap aparat agar dapat berkarier dengan tenang dalam suasana yang relatip kondusif- tidak setiap saat digelisahkan dengan ancaman mutasi yang dapat mengebiri kreativitas. Bukankah kekurangan aparat yang menjadi binaan kita- menjadi cerminan kekurangan pimpinan dalam mengeksplorer potensi yang dimiliki ?

Sudah saatnya, simpul- simpul image yang selama ini sering memasung kreativitas pengelolaan layanan kepemerintahan yang dapat membuat disharmoni antara level kepemimpinan yang dimiliki- itu dibuka dan ruang sharing yang fair lebih dikedepankan serta perhatian akan terwujudnya keseimbangan antara layanan dasar yang secara prioritas dibutuhkan oleh masyarakat dengan kapabilitas pengelolah layanan- sehingga diharapkan mampu mengeleminir potensi munculnya keadaan tertatih- tatihnya sebahagian oknum pengelolah layanan dalam mengelolah produk kepemerintahan.

Kita semua harusnya bersikap optimis- bahwa kualitas dan kapabilitas personal yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Sulbar adalah lebih dari cukup untuk dapat mengelolah layanan kepemerintahan dengan baik. Diantara sekian banyak jumlah personil yang dimiliki- pasti terdapat sejumlah mutiara- mutiara yang belum pernah tersentuh, belum pernah dilirik, belum pernah diberdayakan secara proporsional- sehingga kualitas, kapabilitas dan aksepbilitas yang dimiliki dengan sendirinya- belum sempat berkilau.

Ke dua : tidak keliru rasanya- melalui tulisan ini, sebagai warga masyarakat Sulawesi Barat untuk kembali berandai- andai : andai Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat sempat berpikir untuk mulai menerapkan manajemen layanan kepemerintahan dengan benar dan mengusung asas the right man on the right pleace secara proporsional dan dengan mata hati yang jernih memberikan peluang kepada mutiara- mutiara yang masih terpendam dan mungkin terselip di jajaran Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat untuk berkiprah dengan garansi kepastian atas reward bukan dengan rekruitmen yang didasari atas like and dislike- yang muaranya pada asal bapak senang, maka keluhan sebagaimana judul tulisan di atas, diyakini tidak sering kita dengar bersama. Bukankah telah kita miliki sejumlah regulasi yang mengatur secara baku proses dan mekanisme rekruitmen birokrasi pada setiap jenjang dan level- mengapa kita senantiasa tega untuk melacikannya hanya karena kepentingan sesaat ?

Sebenarnya- dalam beberapa kasus, sering kita temukan bahwa salah satu penyebab kemandulan kreativitas dari aparat pengelolah layanan kepemerintahan adalah ketika pada saat yang bersamaan- beberapa aparat dengan mata telanjang menyaksikan praktek pembiaran sering terjadi dan lalu lalang didepan mata kita maupun didepan mata pengambil kebijakan- tanpa disertai upaya pembinaan yang lebih bijak, santun dan bermartabat- bukan dengan menebar teror ancaman mutasi- yang pada galibnya, merupakan kebiasaan yang kontra produktif.

III. PENUTUP

Dengan seringnya kita membaca kegalauan dari seorang CEO kepemerintahan di level Provinsi, apakah ini bukan menjadi indikator yang dapat dinilai belum mampunya pemimpin kita mengelolah sumber daya manusia dengan benar ? boleh jadi, karena kesibukan dengan rutinitas seperti biasanya- kita semua melalaikan menerapkan kearifan dalam membina anak sendiri. Bukankan dalam banyak referensi kontemporer dewasa ini- dengan mudah kita dapati bahwa salah satu kata kunci keberhasilan dalam manajemen kepemimpinan- adalah bagaimana seorang leader mampu menanam pengaruh, sebagaimana dalam phisikologi kepribadian banyak kali disebutkan bahwa sugesti dan motivasi dalam mengangkat harkat, martabat dan harga diri orang yang berada dalam jangkauan kewenangan kita- merupakan pra syarat keberhasilan dalam mengelolah kepemimpinan pada setiap tingkatan.

Sekali lagi- tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggurui- tetapi sejatinya, berasal dari kehawatiran PNS kecil yang ada di daerah yang sering membaca kegalauan dengan lakon yang kurang elok dan kurang bijak- paling tidak meminjam istilah bapak Thamrin Syakur Kadis Perhubungan Sulbar seorang pamong senior ketika mendampingi Komisi III DPRD Sulbar dalam acara dimaksud, bahwa- semua orang tidak perlu kebakaran jenggot dan tersinggung ketika mendengar keluhan teman- teman di daerah karena boleh jadi itu memang benar terjadi dan ke depan menjadi tanggung jawab bersama untuk memperbaikinya- tidak cukup hanya mengeluh, yang dibutuhkan adalah melaksanakan seluruh komitmen yang pernah dibuat dalam menata provinsi ini menjadi lebih mala’bi : mala’bi pamarentana- mala’bi pa’banuana.

MUNGKINKAH DANA BERGULIR UEP/ SPP PNPM-MANDIRI PERDESAAN JADI PENOPANG EKONOMI PEDESAAN ?

I. PENDAHULUAN

Salah satu landasan philosofi diselenggarakannya aktivitas pemberdayaan masyarakat pada tataran komunitas- diantaranya, karena selama ini pameran aktor tunggal yang melakoni design pembangunan dari hulu sampai muara, dinilai telah merusak sendi- sendi otonomi masyarakat desa yang memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan mereka sendiri. Diakui atau tidak- selama ini hampir seluruh potensi desa dieksploitasi secara semena- mena dan sedemikian rupa oleh frame kepentingan melalui sistem sentralistik- atas nama pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Tidak sedikit peninggalan karya sentralisasi pembangunan dengan mudah kita temukan diberbagai lokasi, design generalisasi Inpres tersebut- tidak ubahnya sebuah benda yang tidak memiliki arti, tidak berfungsi dan tidak bermanfaat kepada masyarakat disekitarnya. Sebagai contoh, begitu banyak peninggalan bangunan- bangunan dan rumah- rumah dinas sekolah dengan ukuran dan model yang seragam, tinggal menjadi barang rongsokan dan tumpukan material yang tidak bermanfaat.

Mengapa hal itu dapat terjadi ? mungkin karena dimasa lampau- masyarakat desa dianggap tidak memiliki kapabilitas untuk duduk bersama membicarakan apa kebutuhan mereka dan bagaimana cara mengusahakannya- terlebih ketika itu menyangkut tentang ekonomi masyarakat, yang ada adalah mereka hanya dapat menjadi pasien daftar tunggu penerima subsidi pemerintah melalui program pembangunan ekonomi masyarakat.

II. APA ITU DANA BERGULIR UEP/ SPP

Sebagaimana yang tertuang dalam PTO PNPM- MANDIRI PERDESAAN disebutkan bahwa grand design yang menjadi visi utama program pemberdayaan tersebut adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin di pedesaan- dengan asumsi bahwa kesejahteraan diartikan ketika terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat dan kemandirian diasumsikan sebagai kemampuan mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya dan salah satu misi yang terkait langsung dengan sektor kesejahteraan masyarakat desa adalah peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya serta peningkatan kualitas sarana prasarana sosial dasar utamanya ekonomi masyarakat melalui jaringan kemitraan yang mengedepankan kesetaraan.

Apa yang dimaksud dengan dana bergulir yang ada pada usaha ekonomi produktip- simpan pinjam yang dikelolah kelompok perempuan- selanjutnya lebih populis disebut UEP-SPP tersebut ? berdasarkan petunjuk tekhnis operasional kegiatan PNPM-MP disebutkan- bahwa, dana bergulir adalah seluruh dana program yang bersifat pinjaman dari UPK yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk membantu kegiatan ekonomi produktif mereka- disalurkan melalui kelompok- kelompok komunitas masyarakat, dengan tujuan utama- antara lain :

  1. Memberikan kemudahan akses permodalan usaha baik kepada masyarakat sebagai pemanfaat maupun kelompok usaha lainnya
  2. Pelestarian dan pengembangan dana bergulir yang sesuai dengan tujuan program
  3. Peningkatan kapasitas pengelolah kegiatan dana bergulir di tingkat pedesaan
  4. Menyiapkan kelembagaan UPK sebagai pengelolah dana bergulir yang mengacu pada tujuan program secara akuntabel, transparan dan berkelanjutan
  5. 5. Peningkatan pelayanan utamanya kepada rumah tangga miskin dalam pemenuhan kebutuhan permodalan usaha melalui kelompok pemanfaat.

III. BAGAIMANA SEBENARNYA PROGRAM INI BERJALAN

Secara empirik- pada tataran lokal Kabupaten Majene saja, kita semua dapat melihat dan menyaksikan serta menguji kelayakan tumbuh kembang berbagai aktivitas program PNPM-MP khususnya yang terkait dengan upaya mendorong pengentasan kemiskinan berbasis pengelolaan keuangan secara mikro versi komunitas masyarakat utamanya pengelolaan dana bergulir UEP/SPP sejak digelontorkannya program pengentasan kemiskinan ini.


Sebagaimana data yang diperoleh dari sekretariat satker PNPM-MP disebutkan bahwa hingga keadaan Oktober 2009 untuk program dana bergulir pinjaman SPP- jumlah dana yang dipergunakan sebesar Rp. 11.347.849,450.- dengan target pengembalian komulatif sebesar Rp. 8.458.008.072.- dan realisasi pengembalian sebesar Rp. 7.869.547.548.- atau prosentase pengembalian sebesar 93,0 %, yang disalurkan oleh 7 unit pengelolah kegiatan yang tersebar di UPK Kec. Banggae, Pamboang, Sendana, Malunda, Ulumanda, Tubo dan Tammero’do Sendana.

Sementara untuk untuk dana bergulir pinjaman UEP selama ini sebesar Rp. 5.421.141.150.- dengan target pengembalian komulatif sebesar Rp. 4.633.474.187.- dan realisasi pengembalian sebesar Rp. 4.452.736.975.- atau prosentase pengembalian sebesar 96,1 % yang dikelolah oleh 3 unit pengelolah kegiatan ( UPK ) masing- masing UPK Kec. Banggae, pamboang dan Sendana.

Melihat tumbuh kembang program ekonomi mikro ini- khususnya prosentase pengembalian dana bergulir untuk UEP sebesar 96,1 % dan SPP sebesar 93,3 % yang dikelolah oleh masing- masing UPK- terlecut satu optimisme, bahwa apabila kelompok masyarakat di pedesaan diberikan kesempatan untuk melakukan akses kreativitas dan kewenangan berinovasi dengan potensi yang dimiliki- niscaya melahirkan sebuah maha karya yang dapat dirasakan manfaatnya oleh publik desa secara bersama.

IV. PENUTUP

Sekiranya data yang diketengahkan di atas merupakan data valid dan faktual, berarti kapabilitas kelompok masyarakat dalam manage sumber keuangan skala mikro- lebih teruji dan terpercaya ketimbang institusi lainnya yang juga mengelolah program yang sama. Jika fenomena tersebut benar adanya- tentu tidak keliru apabila kita mulai berandai- andai : apakah tidak sebaiknya- seandainya program dana bergulir versi UEP/SPP dari PNPM-MP ini dimodifikasi sedemikian rupa- sehingga menjadi sebuah lembaga keuangan desa yang mampu menjadi penopang ekonomi pedesaan yang lebih bonafid dan permanent- tanpa harus merombak jajaran manajemen dan personalia yang telah ada ? mungkin dibutuhkan sedikit sentuhan pada aspek legalitas- sehingga proses reaktualisasi dan revitalisasi serta redesign statuta lembaga ini tetap dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.

Mengapa pertanyaan ini kembali tersembul ? boleh jadi memang- sebagai media mengingatkan kembali, karena pada beberapa waktu yang lampau- dalam banyak momentum kepemerintahan wacana pembentukan lembaga keuangan desa- sering kita dengar bersama disertai dengan cerita sukses daerah pembanding, akan tetapi- seiring dengan berputarnya waktu, wacana itu sayup- sayup redup dari ruang kepekaan kita.

Barangkali ada baiknya kita semua mencoba memaknai prinsip orang tua kita terdahulu, bahwa memperbaiki dan menyempurnakan sesuatu yang telah dimiliki- jauh lebih bijak ketimbang harus mengadakan sesuatu yang sama sekali baru, dimana kita sendiri belum mengetahui bagaimana hasil akhirnya nanti- sejatinya, pada titik inilah sebenarnya kearifan dalam frame kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial kita kembali diuji- agar tetap membumi !.

MEMAKNAI KOORDINASI DENGAN BIJAK

I. PENDAHULUAN

Ada hal yang menarik ketika untuk pertama kalinya- pada hari senin 31 November 2009 setelah sekian kali pemerintah Kab. Majene mencoba menerapkan sebuah mekanisme evaluasi terhadap berbagai aktivitas yang telah diselenggarakan dalam kurun waktu tertentu selama ini. Hal yang menarik tersebut, setidaknya menurut penulis pribadi- adalah ketika hampir semua pimpinan satuan kerja perangkat daerah Kab. Majene selaku peserta rapat koordinasi- untuk pertama kalinya bagaikan rombongan paduan suara nyanyi koor, melakukan bedah kasus dan otokritik terhadap pelaksanaan aktivitas kegiatan program dan dana dekonsentrasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat yang khusus dialokasikan di wilayah Kab. Majene selama ini.

Semua hasil akhir pembicaraan pimpinan satuan kerja perangkat daerah tersebut- berakhir pada kata tidak mengetahui baik semi resmi apalagi secara resmi, jika ternyata ada dana dan kegiatan dekonsentrasi yang dilaksanakan melalui institusi yang dipimpinnya- bahkan lebih miris lagi, ketika untuk beberapa persoalan yang bersifat kasuistik- ada beberapa dana dan kegiatan yang ditarik kembali oleh oknum pengelolah di tingkat Provinsi atau dalam bahasa sederhana diungkapkan bahwa dana dekonsentrasi selama ini lebih tepat- kalau dianggap dana rahasia. Pertanyaannya adalah mengapa kondisi ini dapat terjadi di Provinsi yang kita klaim bersama sebagai Provinsi Mala’bi ? apakah pucuk pimpinan di tingkat Provinsi selaku CEO dari sebuah manajemen pemerintah Provinsi Sulawesi Barat- tidak mengetahui hal itu ?

II. APA ITU KOORDINASI

Diantara peserta rapat, ada yang berpendapat bahwa salah satu penyebab dari sekian banyak faktor yang berpengaruh dalam kondisi kekinian adalah faktor lemahnya koordinasi. Boleh jadi memang, pendapat tersebut ada benarnya bahkan sangat kuat benarnya- bahwa hal yang paling mendasar dan urgent mendapat atensi ekstra dari semua pihak- pada tataran birokrasi pemerintahan disetiap level, adalah bagaimana memaknai kata koordinasi yang dalam banyak hal- begitu mudah dilafalkan bahkan menjadi satu frase permakluman yang sangat sering didengung- dengungkan oleh siapa saja pemilik kepentingan, akan tetapi pada saat tataran implementasinya- seakan ada kekuatan gaib yang mampu menahan setiap orang yang hendak melakukannya.

Apa sebenarnya makna dari kata koordinasi ini ? secara sederhana, setelah mencoba menelaah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang koordinasi kegiatan instansi vertikal di daerah- yang walaupun penetapannya jauh sebelum era desentralisasi kepemerintahan dilaksanakan dan masih bernuansa sentralistik, akan tetapi landasan philosofis dan sosiologis ditetapkannya peraturan pemerintah ini- justeru masih sangat relevan dengan kondisi kekinian di daerah yaitu dalam rangka tertib penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan demi terwujudnya keserasian serta keberhasilan pembangunan di daerah.

III. MENGAPA ORANG CENDERUNG SULIT BERKOORDINASI

Dari pemaknaan kata koordinasi yang dicoba diketengahkan di atas- sekiranya secara ekstrim dibahasakan, apabila ada oknum yang dengan sengaja mengingkari aplikasi koordinasi dengan bijak- itu sama artinya telah melakukan sebuah pengingkaran atas kaidah hukum yang telah dilegalisasikan secara hukum positip dalam ranah pembangunan bidang hukum dan kepemerintahan.

Secara empirik, memang rada- rada susah menemukan jawaban yang tepat dan pasti, mengapa orang sangat sulit melaksanakan kata koordinasi pada tataran aplikatif. Boleh jadi, sebagaimana yang pernah penulis angkat dalam tulisan sebelumnya tentang kriteria orang yang menolak proses perubahan, meminjam istilah John P. Kotter dalam What leaders really do- bahwa orang yang cenderung masih sulit berkoordinasi sama dan sebangun dengan sifat orang- orang yang menolak proses perubahan berlangsung secara normal. Mengapa demikian ? karena, karakter dan sifat orang yang sulit melakukan koordinasi dengan karakter dan sifat orang yang menolak perubahan- keduanya secara phisikologis memiliki kecenderungan yang didominasi keresahan dan kecemasan karena pada hakikatnya yang bersangkutan secara sadar tidak mampu bertahan dalam pusaran perubahan itu sendiri.

IV. PENUTUP

Permasalahan koordinasi dengan berbagai variannya- sebenarnya bukan hanya didominasi oleh disharmoni tata hubungan kepemerintahan antara Provinsi dengan Kabupaten/ kota saja- akan tetapi, dalam level internal kepemerintahan kabupaten/ kotapun persoalan koordinasi ini tetap menjadi bahan diskusi antar kelompok yang senang dengan koordinasi tetap dilacikan dengan kelompok yang selalu berupaya memberi spirit perubahan pada setiap aktivitas yang dilaksanakan- tanpa memandang siapa aktor yang mengawali melakukan koordinasi.

Barangkali memang- dibutuhkan sebuah spirit baru dalam kemasan cerdas secara emosional dalam mengusung proses take and give secara selaras dan lebih bermartabat.