Senin, 21 Desember 2009

BETULKAH SKPD PEMROV SULBAR- LEMAH ?

I. PENDAHULUAN

Ada dua hal yang patut dicermati pada hari Rabu 16 Desember 2009- paling tidak bagi penulis ataupun mungkin juga para pemerhati layanan kepemerintahan di jazirah Mandar ini khususnya mungkin pada tataran daerah penulis sendiri- mengapa ? karena ternyata- pada hari yang sama, dua moment yang saling terkait- pertama : dimedia utama masyarakat Sulbar- secara mencolok mencantumkan statemen gubernur sulbar pada halaman utama kolom Radar Mamuju dengan kalimat yang sangat memiriskan pembaca, Anwar Akui SKPD Masih Lemah dan kedua : pada saat mengikuti kunjungan kerja Komisi III DPRD Sulbar yang kebetulan menjadwalkan untuk mengunjungi Kab. Majene dan akan dilanjutkan di Kab. Polman.

Mengapa menjadi menarik untuk dicermati ? pertama : untuk kesekian kalinya ( yang penulis baca lewat media ) bapak Gubernur Sulawesi Barat selaku CEO kepemerintahan di Provinsi mala’bi ini- kembali mambattai kanunus sendiri menurut bahasa Mandar, karena dengan gamblang membeberkan kekurangan dan kelemahan anak sendiri yang nota bene siang malam berada dalam pengasuhan sendiri, sebuah rumah besar yang namanya Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. Curhat itu- atau apalah namanya, tentu saja sangat mengherankan sekaligus menggelikan- karena ternyata hingga lima tahun kita ber Sulbar- kita masih senantiasa mengeluhkan kelemahan anak sendiri, apanya yang salah ? apakah selama ini tidak dilakukan pembinaan yang serius ? kenapa mengurus anak sendiri saja menjadi tidak mampu ? saya khawatir- diantara kita sebagai masyarakat awam, akan melanjutkan pertanyaan berikut- sedang membina anak sendiri saja tidak becus, bagaimana mampu mengurus yang lain- yang mungkin dan tentu saja lebih besar, lebih berat, lebih sulit, lebih luas dan lebih segala- galanya.

Ke dua- ketika mengikuti acara penerimaan kunjungan kerja Komisi III DPRD Sulbar di Kab. Majene, dimana dalam sesi tanya jawab- Ketua rombongan maupun beberapa anggota Komisi III yang terhormat mengatakan, bahwa salah satu tujuan utama kunjungan kerja ini sekaligus dengan membawa beberapa SKPD Provinsi Sulbar yang terkait ( hanya pak Thamrin Syakur selaku Kadis Perhubungan yang hadir ), mempermaklumkan bahwa disamping untuk menyerap aspirasi yang terkadang tidak nyambung selama ini- yang paling utama adalah Komisi III mencoba menjadi mediator terbangunnya persepsi yang sama, bahwa sebenarnya harga sebuah barang yang selama ini terasa sangat mahal dan sangat sulit dilakukan yaitu koordinasi, ternyata- bukanlah jenis barang yang perlu dimitoskan- sepanjang ada keinginan untuk take and give secara bermartabat. Dari perspektif ini- patutlah kita memberikan apresiasi positip kepada DPRD Sulbar yang mencoba membantu menyelesaikan kerancuan manajemen kepemerintahan yang selama ini sebenarnya sudah dirasakan oleh daerah- daerah dan bahkan dalam banyak moment sering disuarakan oleh para Kepala Daerah masing- masing.


II. BAGAIMANA SEHARUSNYA KONDISI INI DIPERBAIKI

Apa yang dapat kita maknai dari dua moment itu ? Pada konteks pertama- tanpa bermaksud menggurui karena memang tidak dalam kapasitas itu, seyogianya tidak perlu seorang pimpinan terlalu sering meramu ungkapan yang sejatinya dapat menurunkan spirit dan melemahkan nyali dari aparat yang menjadi binaannya- akan tetapi justeru diharapkan senantiasa mengupgrade dengan membangun harga diri, memacu potensi yang dimiliki serta memotivasi setiap aparat agar dapat berkarier dengan tenang dalam suasana yang relatip kondusif- tidak setiap saat digelisahkan dengan ancaman mutasi yang dapat mengebiri kreativitas. Bukankah kekurangan aparat yang menjadi binaan kita- menjadi cerminan kekurangan pimpinan dalam mengeksplorer potensi yang dimiliki ?

Sudah saatnya, simpul- simpul image yang selama ini sering memasung kreativitas pengelolaan layanan kepemerintahan yang dapat membuat disharmoni antara level kepemimpinan yang dimiliki- itu dibuka dan ruang sharing yang fair lebih dikedepankan serta perhatian akan terwujudnya keseimbangan antara layanan dasar yang secara prioritas dibutuhkan oleh masyarakat dengan kapabilitas pengelolah layanan- sehingga diharapkan mampu mengeleminir potensi munculnya keadaan tertatih- tatihnya sebahagian oknum pengelolah layanan dalam mengelolah produk kepemerintahan.

Kita semua harusnya bersikap optimis- bahwa kualitas dan kapabilitas personal yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Sulbar adalah lebih dari cukup untuk dapat mengelolah layanan kepemerintahan dengan baik. Diantara sekian banyak jumlah personil yang dimiliki- pasti terdapat sejumlah mutiara- mutiara yang belum pernah tersentuh, belum pernah dilirik, belum pernah diberdayakan secara proporsional- sehingga kualitas, kapabilitas dan aksepbilitas yang dimiliki dengan sendirinya- belum sempat berkilau.

Ke dua : tidak keliru rasanya- melalui tulisan ini, sebagai warga masyarakat Sulawesi Barat untuk kembali berandai- andai : andai Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat sempat berpikir untuk mulai menerapkan manajemen layanan kepemerintahan dengan benar dan mengusung asas the right man on the right pleace secara proporsional dan dengan mata hati yang jernih memberikan peluang kepada mutiara- mutiara yang masih terpendam dan mungkin terselip di jajaran Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat untuk berkiprah dengan garansi kepastian atas reward bukan dengan rekruitmen yang didasari atas like and dislike- yang muaranya pada asal bapak senang, maka keluhan sebagaimana judul tulisan di atas, diyakini tidak sering kita dengar bersama. Bukankah telah kita miliki sejumlah regulasi yang mengatur secara baku proses dan mekanisme rekruitmen birokrasi pada setiap jenjang dan level- mengapa kita senantiasa tega untuk melacikannya hanya karena kepentingan sesaat ?

Sebenarnya- dalam beberapa kasus, sering kita temukan bahwa salah satu penyebab kemandulan kreativitas dari aparat pengelolah layanan kepemerintahan adalah ketika pada saat yang bersamaan- beberapa aparat dengan mata telanjang menyaksikan praktek pembiaran sering terjadi dan lalu lalang didepan mata kita maupun didepan mata pengambil kebijakan- tanpa disertai upaya pembinaan yang lebih bijak, santun dan bermartabat- bukan dengan menebar teror ancaman mutasi- yang pada galibnya, merupakan kebiasaan yang kontra produktif.

III. PENUTUP

Dengan seringnya kita membaca kegalauan dari seorang CEO kepemerintahan di level Provinsi, apakah ini bukan menjadi indikator yang dapat dinilai belum mampunya pemimpin kita mengelolah sumber daya manusia dengan benar ? boleh jadi, karena kesibukan dengan rutinitas seperti biasanya- kita semua melalaikan menerapkan kearifan dalam membina anak sendiri. Bukankan dalam banyak referensi kontemporer dewasa ini- dengan mudah kita dapati bahwa salah satu kata kunci keberhasilan dalam manajemen kepemimpinan- adalah bagaimana seorang leader mampu menanam pengaruh, sebagaimana dalam phisikologi kepribadian banyak kali disebutkan bahwa sugesti dan motivasi dalam mengangkat harkat, martabat dan harga diri orang yang berada dalam jangkauan kewenangan kita- merupakan pra syarat keberhasilan dalam mengelolah kepemimpinan pada setiap tingkatan.

Sekali lagi- tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggurui- tetapi sejatinya, berasal dari kehawatiran PNS kecil yang ada di daerah yang sering membaca kegalauan dengan lakon yang kurang elok dan kurang bijak- paling tidak meminjam istilah bapak Thamrin Syakur Kadis Perhubungan Sulbar seorang pamong senior ketika mendampingi Komisi III DPRD Sulbar dalam acara dimaksud, bahwa- semua orang tidak perlu kebakaran jenggot dan tersinggung ketika mendengar keluhan teman- teman di daerah karena boleh jadi itu memang benar terjadi dan ke depan menjadi tanggung jawab bersama untuk memperbaikinya- tidak cukup hanya mengeluh, yang dibutuhkan adalah melaksanakan seluruh komitmen yang pernah dibuat dalam menata provinsi ini menjadi lebih mala’bi : mala’bi pamarentana- mala’bi pa’banuana.

MUNGKINKAH DANA BERGULIR UEP/ SPP PNPM-MANDIRI PERDESAAN JADI PENOPANG EKONOMI PEDESAAN ?

I. PENDAHULUAN

Salah satu landasan philosofi diselenggarakannya aktivitas pemberdayaan masyarakat pada tataran komunitas- diantaranya, karena selama ini pameran aktor tunggal yang melakoni design pembangunan dari hulu sampai muara, dinilai telah merusak sendi- sendi otonomi masyarakat desa yang memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan mereka sendiri. Diakui atau tidak- selama ini hampir seluruh potensi desa dieksploitasi secara semena- mena dan sedemikian rupa oleh frame kepentingan melalui sistem sentralistik- atas nama pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Tidak sedikit peninggalan karya sentralisasi pembangunan dengan mudah kita temukan diberbagai lokasi, design generalisasi Inpres tersebut- tidak ubahnya sebuah benda yang tidak memiliki arti, tidak berfungsi dan tidak bermanfaat kepada masyarakat disekitarnya. Sebagai contoh, begitu banyak peninggalan bangunan- bangunan dan rumah- rumah dinas sekolah dengan ukuran dan model yang seragam, tinggal menjadi barang rongsokan dan tumpukan material yang tidak bermanfaat.

Mengapa hal itu dapat terjadi ? mungkin karena dimasa lampau- masyarakat desa dianggap tidak memiliki kapabilitas untuk duduk bersama membicarakan apa kebutuhan mereka dan bagaimana cara mengusahakannya- terlebih ketika itu menyangkut tentang ekonomi masyarakat, yang ada adalah mereka hanya dapat menjadi pasien daftar tunggu penerima subsidi pemerintah melalui program pembangunan ekonomi masyarakat.

II. APA ITU DANA BERGULIR UEP/ SPP

Sebagaimana yang tertuang dalam PTO PNPM- MANDIRI PERDESAAN disebutkan bahwa grand design yang menjadi visi utama program pemberdayaan tersebut adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin di pedesaan- dengan asumsi bahwa kesejahteraan diartikan ketika terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat dan kemandirian diasumsikan sebagai kemampuan mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya dan salah satu misi yang terkait langsung dengan sektor kesejahteraan masyarakat desa adalah peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya serta peningkatan kualitas sarana prasarana sosial dasar utamanya ekonomi masyarakat melalui jaringan kemitraan yang mengedepankan kesetaraan.

Apa yang dimaksud dengan dana bergulir yang ada pada usaha ekonomi produktip- simpan pinjam yang dikelolah kelompok perempuan- selanjutnya lebih populis disebut UEP-SPP tersebut ? berdasarkan petunjuk tekhnis operasional kegiatan PNPM-MP disebutkan- bahwa, dana bergulir adalah seluruh dana program yang bersifat pinjaman dari UPK yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk membantu kegiatan ekonomi produktif mereka- disalurkan melalui kelompok- kelompok komunitas masyarakat, dengan tujuan utama- antara lain :

  1. Memberikan kemudahan akses permodalan usaha baik kepada masyarakat sebagai pemanfaat maupun kelompok usaha lainnya
  2. Pelestarian dan pengembangan dana bergulir yang sesuai dengan tujuan program
  3. Peningkatan kapasitas pengelolah kegiatan dana bergulir di tingkat pedesaan
  4. Menyiapkan kelembagaan UPK sebagai pengelolah dana bergulir yang mengacu pada tujuan program secara akuntabel, transparan dan berkelanjutan
  5. 5. Peningkatan pelayanan utamanya kepada rumah tangga miskin dalam pemenuhan kebutuhan permodalan usaha melalui kelompok pemanfaat.

III. BAGAIMANA SEBENARNYA PROGRAM INI BERJALAN

Secara empirik- pada tataran lokal Kabupaten Majene saja, kita semua dapat melihat dan menyaksikan serta menguji kelayakan tumbuh kembang berbagai aktivitas program PNPM-MP khususnya yang terkait dengan upaya mendorong pengentasan kemiskinan berbasis pengelolaan keuangan secara mikro versi komunitas masyarakat utamanya pengelolaan dana bergulir UEP/SPP sejak digelontorkannya program pengentasan kemiskinan ini.


Sebagaimana data yang diperoleh dari sekretariat satker PNPM-MP disebutkan bahwa hingga keadaan Oktober 2009 untuk program dana bergulir pinjaman SPP- jumlah dana yang dipergunakan sebesar Rp. 11.347.849,450.- dengan target pengembalian komulatif sebesar Rp. 8.458.008.072.- dan realisasi pengembalian sebesar Rp. 7.869.547.548.- atau prosentase pengembalian sebesar 93,0 %, yang disalurkan oleh 7 unit pengelolah kegiatan yang tersebar di UPK Kec. Banggae, Pamboang, Sendana, Malunda, Ulumanda, Tubo dan Tammero’do Sendana.

Sementara untuk untuk dana bergulir pinjaman UEP selama ini sebesar Rp. 5.421.141.150.- dengan target pengembalian komulatif sebesar Rp. 4.633.474.187.- dan realisasi pengembalian sebesar Rp. 4.452.736.975.- atau prosentase pengembalian sebesar 96,1 % yang dikelolah oleh 3 unit pengelolah kegiatan ( UPK ) masing- masing UPK Kec. Banggae, pamboang dan Sendana.

Melihat tumbuh kembang program ekonomi mikro ini- khususnya prosentase pengembalian dana bergulir untuk UEP sebesar 96,1 % dan SPP sebesar 93,3 % yang dikelolah oleh masing- masing UPK- terlecut satu optimisme, bahwa apabila kelompok masyarakat di pedesaan diberikan kesempatan untuk melakukan akses kreativitas dan kewenangan berinovasi dengan potensi yang dimiliki- niscaya melahirkan sebuah maha karya yang dapat dirasakan manfaatnya oleh publik desa secara bersama.

IV. PENUTUP

Sekiranya data yang diketengahkan di atas merupakan data valid dan faktual, berarti kapabilitas kelompok masyarakat dalam manage sumber keuangan skala mikro- lebih teruji dan terpercaya ketimbang institusi lainnya yang juga mengelolah program yang sama. Jika fenomena tersebut benar adanya- tentu tidak keliru apabila kita mulai berandai- andai : apakah tidak sebaiknya- seandainya program dana bergulir versi UEP/SPP dari PNPM-MP ini dimodifikasi sedemikian rupa- sehingga menjadi sebuah lembaga keuangan desa yang mampu menjadi penopang ekonomi pedesaan yang lebih bonafid dan permanent- tanpa harus merombak jajaran manajemen dan personalia yang telah ada ? mungkin dibutuhkan sedikit sentuhan pada aspek legalitas- sehingga proses reaktualisasi dan revitalisasi serta redesign statuta lembaga ini tetap dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.

Mengapa pertanyaan ini kembali tersembul ? boleh jadi memang- sebagai media mengingatkan kembali, karena pada beberapa waktu yang lampau- dalam banyak momentum kepemerintahan wacana pembentukan lembaga keuangan desa- sering kita dengar bersama disertai dengan cerita sukses daerah pembanding, akan tetapi- seiring dengan berputarnya waktu, wacana itu sayup- sayup redup dari ruang kepekaan kita.

Barangkali ada baiknya kita semua mencoba memaknai prinsip orang tua kita terdahulu, bahwa memperbaiki dan menyempurnakan sesuatu yang telah dimiliki- jauh lebih bijak ketimbang harus mengadakan sesuatu yang sama sekali baru, dimana kita sendiri belum mengetahui bagaimana hasil akhirnya nanti- sejatinya, pada titik inilah sebenarnya kearifan dalam frame kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial kita kembali diuji- agar tetap membumi !.

MEMAKNAI KOORDINASI DENGAN BIJAK

I. PENDAHULUAN

Ada hal yang menarik ketika untuk pertama kalinya- pada hari senin 31 November 2009 setelah sekian kali pemerintah Kab. Majene mencoba menerapkan sebuah mekanisme evaluasi terhadap berbagai aktivitas yang telah diselenggarakan dalam kurun waktu tertentu selama ini. Hal yang menarik tersebut, setidaknya menurut penulis pribadi- adalah ketika hampir semua pimpinan satuan kerja perangkat daerah Kab. Majene selaku peserta rapat koordinasi- untuk pertama kalinya bagaikan rombongan paduan suara nyanyi koor, melakukan bedah kasus dan otokritik terhadap pelaksanaan aktivitas kegiatan program dan dana dekonsentrasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat yang khusus dialokasikan di wilayah Kab. Majene selama ini.

Semua hasil akhir pembicaraan pimpinan satuan kerja perangkat daerah tersebut- berakhir pada kata tidak mengetahui baik semi resmi apalagi secara resmi, jika ternyata ada dana dan kegiatan dekonsentrasi yang dilaksanakan melalui institusi yang dipimpinnya- bahkan lebih miris lagi, ketika untuk beberapa persoalan yang bersifat kasuistik- ada beberapa dana dan kegiatan yang ditarik kembali oleh oknum pengelolah di tingkat Provinsi atau dalam bahasa sederhana diungkapkan bahwa dana dekonsentrasi selama ini lebih tepat- kalau dianggap dana rahasia. Pertanyaannya adalah mengapa kondisi ini dapat terjadi di Provinsi yang kita klaim bersama sebagai Provinsi Mala’bi ? apakah pucuk pimpinan di tingkat Provinsi selaku CEO dari sebuah manajemen pemerintah Provinsi Sulawesi Barat- tidak mengetahui hal itu ?

II. APA ITU KOORDINASI

Diantara peserta rapat, ada yang berpendapat bahwa salah satu penyebab dari sekian banyak faktor yang berpengaruh dalam kondisi kekinian adalah faktor lemahnya koordinasi. Boleh jadi memang, pendapat tersebut ada benarnya bahkan sangat kuat benarnya- bahwa hal yang paling mendasar dan urgent mendapat atensi ekstra dari semua pihak- pada tataran birokrasi pemerintahan disetiap level, adalah bagaimana memaknai kata koordinasi yang dalam banyak hal- begitu mudah dilafalkan bahkan menjadi satu frase permakluman yang sangat sering didengung- dengungkan oleh siapa saja pemilik kepentingan, akan tetapi pada saat tataran implementasinya- seakan ada kekuatan gaib yang mampu menahan setiap orang yang hendak melakukannya.

Apa sebenarnya makna dari kata koordinasi ini ? secara sederhana, setelah mencoba menelaah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang koordinasi kegiatan instansi vertikal di daerah- yang walaupun penetapannya jauh sebelum era desentralisasi kepemerintahan dilaksanakan dan masih bernuansa sentralistik, akan tetapi landasan philosofis dan sosiologis ditetapkannya peraturan pemerintah ini- justeru masih sangat relevan dengan kondisi kekinian di daerah yaitu dalam rangka tertib penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan demi terwujudnya keserasian serta keberhasilan pembangunan di daerah.

III. MENGAPA ORANG CENDERUNG SULIT BERKOORDINASI

Dari pemaknaan kata koordinasi yang dicoba diketengahkan di atas- sekiranya secara ekstrim dibahasakan, apabila ada oknum yang dengan sengaja mengingkari aplikasi koordinasi dengan bijak- itu sama artinya telah melakukan sebuah pengingkaran atas kaidah hukum yang telah dilegalisasikan secara hukum positip dalam ranah pembangunan bidang hukum dan kepemerintahan.

Secara empirik, memang rada- rada susah menemukan jawaban yang tepat dan pasti, mengapa orang sangat sulit melaksanakan kata koordinasi pada tataran aplikatif. Boleh jadi, sebagaimana yang pernah penulis angkat dalam tulisan sebelumnya tentang kriteria orang yang menolak proses perubahan, meminjam istilah John P. Kotter dalam What leaders really do- bahwa orang yang cenderung masih sulit berkoordinasi sama dan sebangun dengan sifat orang- orang yang menolak proses perubahan berlangsung secara normal. Mengapa demikian ? karena, karakter dan sifat orang yang sulit melakukan koordinasi dengan karakter dan sifat orang yang menolak perubahan- keduanya secara phisikologis memiliki kecenderungan yang didominasi keresahan dan kecemasan karena pada hakikatnya yang bersangkutan secara sadar tidak mampu bertahan dalam pusaran perubahan itu sendiri.

IV. PENUTUP

Permasalahan koordinasi dengan berbagai variannya- sebenarnya bukan hanya didominasi oleh disharmoni tata hubungan kepemerintahan antara Provinsi dengan Kabupaten/ kota saja- akan tetapi, dalam level internal kepemerintahan kabupaten/ kotapun persoalan koordinasi ini tetap menjadi bahan diskusi antar kelompok yang senang dengan koordinasi tetap dilacikan dengan kelompok yang selalu berupaya memberi spirit perubahan pada setiap aktivitas yang dilaksanakan- tanpa memandang siapa aktor yang mengawali melakukan koordinasi.

Barangkali memang- dibutuhkan sebuah spirit baru dalam kemasan cerdas secara emosional dalam mengusung proses take and give secara selaras dan lebih bermartabat.