Sabtu, 22 Mei 2010

MEWUJUDKAN TRANSPARANSI PELAYANAN PUBLIK

I. PENDAHULUAN

Tidak dapat dipungkiri- bahwa baik di negara maju maupun di negara- negara berkembang apalagi di Daerah- birokrasi pemerintah masih mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peran yang dimainkan oleh pemerintah- mulai dari : peran mengatur kehidupan masyarakat ( regulative )- melindungi masyarakat ( protective)- mendistribusikan sumber daya kepada masyarakat ( distributive ) sampai pada pemberian pelayanan umum ( public service ). Dengan fenomena itu- tidak heran manakala Stiglitz ( 1988:1) dalam Ermawan Agus Purwanto : 2006- memberikan pameo from birth to death, our lives are affected in countless ways by activities of government !

Namun seiring dengan bergulirnya waktu- dominasi birokrasi dalam berbagai aspek dalam kondisi kekinian mulai dipertanyakan. Munculnya buku reinventing government ( Osborne dan Gaebler : 1992 ) menjadi moment monumental dipenghujung abad dua puluh- yang menggungat berbagai dimensi dan sepak terjang birokrasi yang selama ini telah ditasbihkan sebagai sesuatu yang given.

II. MENGAPA TRANSPARANSI PELAYANAN PUBLIK PENTING ?

Transparansi merupakan konsep yang sangat penting dan menjadi semakin penting- seiring dengan semakin kuatnya keinginan untuk terus mengembangkan praktik good governance- yang mensyaratkan adanya ruang khusus transparansi dalam seluruh proses penyelenggaraan ke pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan. Dengan kata lain- pemerintah pada setiap tingkatan, terutama pada level layanan yang bersentuhan langsung dengan penerima manfaat layanan- dituntut untuk terbuka dan menggaransi ruang yang dapat diakses oleh stakeholder’s terhadap berbagai sumber informasi tentang proses kebijakan publik- alokasi anggaran untuk pelaksanaan kebijakan dimaksud serta pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kebijakan tersebut.

Sejumlah point informasi mengenai tindakan pemberi layanan, misalnya : alasan yang melatar belakangi tindakan, bentuk tindakan yang diharuskan serta waktu dan cara melakukan tindakan dimaksud- harus tersedia bagi stakeholders dan masyarakat luas. Dengan leluasa mengakses berbagai informasi, secara tidak langsung dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk turut menilai sejauh mana keberpihakan pemerintahnya- telah mengakomodir kebutuhan dasar yang selama ini- menjadi harapan masyarakat.

Terhadap alokasi anggaran misalnya- masyarakat dan stakeholders berhak memperoleh informasi dari mana sumber anggaran diperoleh, berapa jumlah dana yang dialokasikan serta apakah pemerintah membelanjakan anggaran sedemikian itu- untuk kepentingan masyarakat luas ataukah hanya untuk sekelompok orang tertentu yang memberikan keuntungan daur ulang bagi dirinya sendiri ataukah hanya untuk kepentingan oknum- oknum aparat layanan tertentu saja.

Lebih dari itu- masyarakat dan stakeholders semakin perlu untuk mengetahui, apakah kebijakan yang diterapkan tersebut beserta sejumlah resourches yang mendukungnya, benar- benar menghasilkan kinerja yang terukur sesuai yang diharapkan atau tidak. Pengalaman adalah guru terbaik- kata orang bijak dan karena lasan tertentu, banyak kebijakan yang telah direncanakan tidak dapat dijalankan seperti yang direncanakan maupun banyak belanja yang digelontorkan- tidak seperti yang diharapkan.

III. BAGAIMANA TRANSPARANSI DITERAPKAN DALAM PELAYANAN PUBLIK

Apa yang dimaksud dengan transparansi dalam pelayanan publik ? barangkali jawabannya akan seringkali kurang jelas dan cenderung tumpang tindih dengan aspek- aspek good governance lainnya, seperti : akuntabilitas dan responsibility. Akan tetapi, sejatinya- konsepsi transparansi lebih pada aspek menunjuk pada suatu kondisi dimana segala aspek dari seluruh proses penyelenggaraan pelayanan dapat bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan mudah oleh para pengguna layanan dan stakeholders yang membutuhkannya.
Jika saja- segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan itu, seperti : persyaratan/ biaya dan waktu yang diperlukan/ cara pelayanan/ serta hak dan kewajiban penyelenggara dan pengguna layanan- dipublikasikan secara terbuka dan dapat diakses dengan mudah serta dipahami dengan benar oleh masyarakat- maka praktik penyelenggaraan pelayanan itu dapat dinilai cukup memiliki tingkat transparansi yang tinggi. Sebaliknya- sekiranya sebagian atau lebih banyak item dari seluruh proses penyelenggaraan layanan tersebut, cenderung sulit diperoleh informasinya dan terkesan tertutup- maka penyelenggaraan layanan dimaksud, belum memenuhi kaidah transparansi.
Dengan demikian- minimal tiga pakem utama, seperti : informasi tentang persyaratan- biaya dan waktu yang dibutuhkan serta hak dan kewajiban yang diusahakan berimbang dan proporsional, senantiasa harus menjadi brand dari setiap insan pengelolah layanan kemasyarakatan.

IV. PENUTUP

Transparansi- sekali lagi, sejatinya tidak hanya penting dalam penyelenggaraan ke pemerintahan saja tetapi yang lebih penting justeru pada aspek pelayanan publik- dimana dalam banyak kasus masih sering terjadi- meminjam istilah Agus Dwiyanto : 2006, penerima layanan/ masyarakat dan stakeholders bagaikan memasuki hutan belantara yang sangat sulit dilalui- kebanyakan bahkan hampir semua pengguna layanan tidak mengetahui sejumput persyaratan yang harus dipersiapkan- tidak mengetahui apa hak dan kewajibannya secara berimbang, karena yang dirasakan lebih dominan adalah daftar kewajiban yang tersaji dibeberapa papan pengumuman prosedur layanan yang disiapkan- sehingga masyarakat tidak dapat berbuat sesuatu karena haknya sebagai penerima layanan sering tidak diatur dalam prosedur yang ditetapkan.
Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban penerima layanan dengan penyelenggara layanan- mengindikasikan beberapa hal, antara lain :

  1. Kondisi ini menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar masyarakat selaku pemberi mandat pelayanan justeru dihadapan penerima mandat itu sendiri.
  2. Kedua : Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang sering ditemukan- menunjukkan inkonsistensi sikap, oleh karena dalam berbagai kesempatan sering dikatakan bahwa prosedur pelayanan sudah ditempelkan dilokasi- lokasi yang mudah terbaca- akan tetapi tidak disadari bahwa prosedur yang dicantumkan itu- lebih dominan mengatur kewajiban penerima layanan ketimbang hak- hak yang seharusnya juga disampaikan.

Jika demikian adanya- barangkali kita semua masih perlu merewain ilmu pengetahuan layanan yang telah dimiliki melalui berbagai diklat yang diikuti- tanpa harus melakukan studi banding dan sejenisnya- agar keseimbangan hak dan kewajiban antara penyelenggara layanan dan pengguna layanan- dapat terwujud secara proporsional dan professional.

Catatan : Opini dimuat Majene Mammis- Edis 11/ November 2009

Selasa, 18 Mei 2010

MASALAH MALARIA ; MASALAH KITA SEMUA

dr. Hj. Evawaty, M. Kes
PNS di Majene



I. PENDAHULUAN


Tulisan ini- sejatinya diilhami oleh pemberitaan pada salah satu page radar sulbar beberapa waktu yang lampau- yang mewartakan kasus malaria yang terjadi di salah satu Kabupaten di Sulawesi Barat- sehingga menginspirasi penulis untuk mencoba memberikan sedikit kontribusi pikiran mengenai upaya mengantisipasi, mengurangi dan menyikapi penyebaran salah penyakit yang masuk kategori penyakit menular ini. Meminjam istilah Sri Hudyastuti- Staf ahli Menteri Lingkungan Hidup Bidang Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan saat membuka Lokakarya Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan Hidup di Mataram beberapa waktu yang lalu- antara lain menegaskan bahwa : .....pada hakikatnya malaria merupakan penyakit berbasis lingkungan yang menjadi pola kesakitan dan kematian di Indonesia –yang mengindikasikan masih rendahnya cakupan dan kualitas intervensi kesehatan lingkungan. Sebagai salah satu rumpun penyakit reemerging atau yang biasa diistilahkan sebagai penyakit yang dapat menular kembali secara missal- membuat penyakit malaria hingga saat ini masih menjadi ancamam serius bagi masyarakat yang tinggal di daerah tropis dan subtropis, dimana pada kawasan tersebut- malaria sering menimbulkan kejadian luar biasa. Dari data yang dimiliki oleh Kementrian Kesehatan, terdapat sekitar 500 juta penduduk dunia terinfeksi penyakit malaria- dari jumlah tersebut lebih dari satu juta orang meninggal dunia. Apabila kita telusuri lebih lanjut, maka ditemukan bahwa kasus terbanyak menimpa masyarakat di Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah dan beberapa Negara bagian Eropa- serta beberapa negara Asia tidak terkecuali Indonesia.

II. BAGAIMANA KONDISI PENYEBARANNYA DI INDONESIA

Seperti diuraikan di atas, Indonesia merupakan salah satu negara yang masih sangat rentan dan berisiko tinggi terhadap malaria. Dari data yang ada pada Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Kementrian Kesehatan- tercatat hingga tahun 2009 sekitar 80% kabupaten/ kota di Indonesia masih termasuk kategori endemis malaria dan sekitar 45% penduduk bertempat tinggal di daerah yang berisiko tertular malaria. Pada tahun 2009 yang lalu- jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 1.143.024 orang menderita penyakit malaria- yang menurut perhitungan ahli ekonomi kesehatan, dari jumlah kasus tersebut- cenderung dapat menimbulkan kerugian ekonomi mencapai Rp. 3,3 triliun, nilai itu diasumsikan bahwa dari jumlah penderita malaria tersebut – menderita kerugian karena tidak dapat bekerja selama satu minggu serta mengeluarkan biaya pengobatan. Nilai dimaksud- belum termasuk biaya sosial yang terpaksa diterima, seperti : menurunnya tingkat kecerdasan anak maupun dapat mempengaruhi menurunnya kualitas sumber daya manusia yang bermuara dan berdampak pada penurunan produktivitas. Bagaimana kondisi pada tataran lokal ? dalam beberapa bulan terakhir di provinsi Sulbar ini, ternyata merupakan salah satu wilayah yang belum terbebas sepenuhnya dari penyakit malaria- bahkan disinyalir terjadi peningkatan kasus sampai pada kisaran 27% seiring dengan masuknya musim hujan, disamping beberapa faktor pemicu lainnya- antara lain : mobilitas penduduk yang tinggi, kondisi alam yang memungkinkan banyaknya tempat-tempat perindukan nyamuk seperti hutan, lagun disepanjang pantai dan tambak yang terlantar.

III. MENGENAL SELUK BELUK PENYAKITA MALARIA

Malaria adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh parasit jenis plasmodium. Dalam kasus penyebaran penyakit malaria, kita seringkali melupakan akar masalah mengapa penyakit tersebut bisa tersebar dan menelan korban jiwa dan serta cenderung menimbulkan kejadian luar biasa ( KLB ). Sejauh ini- penyelesaian masalah atau solusi yang umum dilaksanakan masih berkutat pada bagaimana mengobati orang yang sakit malaria ataupun mengupayakan memberantas nyamuk sebagai vektor bagi penyebaran parasit plasmodium yang menyebabkan tubuh seseorang menjadi sakit. Sehingga, meski dalam satu kasus program pemberantasan penyakit malaria dianggap sukses- namun beberapa waktu kemudian ketika semua orang mulai lengah- kehadiran penyakit itu malah muncul kembali justeru dengan ancaman yang lebih besar. Oleh karena itu, berkaitan dengan penyebaran malaria ini, paling tidak ada tiga faktor utama yang mesti mendapat atensi bersama dan saling berhubungan satu sama lain yaitu host ( manusia/nyamuk ), agent ( parasit plasmodium ) dan environment ( lingkungan ) sehingga penyebaran malaria potensial terjadi apabila ketiga komponen tersebut saling mendukung. Sebagai ilustrasi : pada aspek host intermediate- manusia bisa terinfeksi oleh agent dan merupakan tempat berkembang biaknya agent. Secara teoritik- kecenderungan orang terinfeksi penyakit malaria ini- dapat melalui media, sebagai berikut : usia, jenis kelamin, ras, sosial ekonomi, status perkawinan, riwayat penyakit sebelumnya, gaya dan cara hidup, hereditas ( keturunan ), status gizi dan tingkat imunitas. Media penyaluran infeksi tersebut di atas- sekiranya dirunut secara sederhana akan mempengaruhi sebagai berikut : menyangkut usia, anak-anak merupakan kelompok paling rentan terkena infeksi parasit malaria dan meski tidak mengenal perbedaan jenis kelamin, infeksi pada ibu yang sedang hamil menyebabkan anemia berat- beberapa ras manusia atau kelompok penduduk memiliki kekebalan alamiah terhadap malaria, orang yang pernah terinfeksi sebelumnya lebih tahan terhadap infeksi malaria. Demikian pula dengan cara hidup, berpengaruh terhadap penularan- misalnya tidur dengan kelambu relatif lebih aman dari infeksi parasit. Sementara itu, pada aspek sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah endemis malaria erat berhubungan dengan infeksi malaria, meski biasanya memiliki imunitas alami sehingga lebih tahan. Sedangkan orang dengan status gizi rendah juga bisa lebih rentan terkena infeksi parasit dibandingkan orang berstatus gizi baik. Sedangkan faktor lingkungan yang cukup memberi pengaruh antara lain lingkungan fisik seperti suhu udara, kelembaban, hujan, angin, sinar matahari, arus air, lingkungan kimiawi, lingkungan biologi ( flora dan fauna ) dan lingkungan sosial budaya. Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai jenis tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk karena ia dapat menghalangi sinar matahari. Pada aspek lingkungan sosial budaya dinilai punya peran luar biasa besarnya dalam penularan penyakit malaria- kebiasaan buruk sebagian masyarakat kita untuk berada di luar rumah sampai larut malam akan memperbesar jumlah gigitan nyamuk.

IV. BAGAIMANA UPAYA PENANGGULANGAN MALARIA ?

Sebagaimana yang terdapat dalam buku pedoman penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan Kementrian Kesehatan, 2009- antara lain disebutkan : dalam rangka mengupayakan untuk menekan angka kesakitan dan kematian- dapat dilakukan dengan memutuskan mata rantai penularan pada salah satu/ lebih mata rantai dengan cara sebagai berikut : 1. Memberantas vektor ( nyamuk penular malaria ) Upaya pengendalian vektor ini- sangat ditentukan oleh seberapa besar kepedulian dan peranserta masyarakat dalam menata lingkungannya secara kolaboratif dengan upaya penyuluhan berkesinambungan untuk merubah perilaku masyarakat dalam pemberantasan malaria, dengan melibatkan : PKK Desa/ Kelurahan , tokoh masyarakat, tokoh agama dan guru sekolah serta seluruh stakeholders yang berkepentingan- dengan kegiatan utama, antara lain : mengalirkan genangan air, membersihkan semak- semak belukar di sekitar rumah, program kandangisasi ternak yang dekat dengan lagun dan menempatkannya dekat tempat perindukan nyamuk, menyemprot dengan obat nyamuk, tidak tidur diluar kamar/ rumah kecuali memakai obat nyamuk/ kelambu, teratur minum obat sesuai petunjuk medis, melestarikan hutan bakau disepanjang pantai, merawat tambak dan membersihkan lumut dipertambakkan atau lagun secara teratur. 2. Menemukan dan mengobati penderita malaria. Pada aspek ini- kewaspadaan dini dalam upaya pencarian penderita oleh masyarakat perlu ditingkatkan terus : misalnya mencari warga pendatang yang berasal dari daerah endemis ke pusat-pusat layanan kesehatan, penderita malaria berat, penderita tidak sembuh ke fasilitas kesehatan terdekat dan mengadakan pengamatan secara dini terhadap keadaan yang potensial terjadinya kejadian luar biasa KLB.

V. PENUTUP

Upaya penanggulangan malaria sejatinya merupakan aktivitas yang komprehensif dengan mengutamakan aspek promotif- preventif dan kuratif secara bersinergi, dengan tujuan menurunkan angka kesakitan dan kematian serta mencegah bterjadinya kejadian luar biasa. Untuk mewujudkan kondisi tersebut serta mengupayakan cakupan hasil yang optimal- maka upaya preventif dan kuratif tersebut seharusnya sudah saatnya dilakukan dengan berkualitas dan terintegrasi secara kolaboratif dengan program lainnya- terutama yang tidak kalah pentingnya adalah merubah stigma diranah kesehatan selama ini- yang masih cenderung membenarkan kebiasaan menjadi membiasakan kebenaran dalam berpikir sehat, perilaku sehat dan hidup sehat pada masyarakat secara umum tidak terkecuali dan terutama dengan orang kesehatan itu sendiri.

Sabtu, 15 Mei 2010

MEWUJUDKAN ETIKA PEMERINTAHAN

I. PENDAHULUAN

Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban yang memungkinkan masyarakat dapat menjalani kehidupannya- secara wajar. Oleh karena itu, pemerintah diperlukan pada hakikatnya adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Pemerintah tidak dibentuk untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat- dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya, demi mencapai tujuan bersama.

II. MAKNA ETIKA PEMERINTAHAN

Konsepsi etika, sebenarnya sudah lama diterima sebagai suatu sistem nilai yang tumbuh dan berkembang pada peradaban manusia, sehingga dengan demikian- pada dasarnya etika berkenaan dengan serangkaian upaya yang menjadikan moralitas- sebagai landasan bertindak dalam tatanan kehidupan yang kolektip.

Nilai- nilai etika yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat, bukanlah sekedar menjadi keyakinan pribadi- bagi para anggotanya, akan tetapi juga menjadi seperangkat norma yang terlembagakan. Dengan kata lain, suatu nilai etika harus menjadi acuan dan pedoman bertindak yang membawa akibat dan pengaruh secara moral.

Dalam etika pemerintahan, terdapat asumsi yang berlaku bahwa melalui penghayatan yang etis yang baik, seorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan tentang kebaikan dan menjaga moralitas pemerintahan.

Aparatur pemerintahan yang baik dan bermoral tinggi, akan senantiasa menjaga dirinya agar dapat terhindar dari perbuatan tercela, karena ia terpanggil untuk menjaga amanah yang diberikan, melalui pencitraan perilaku hidup sehari- hari.

Dalam lingkup profesi pemerintahan misalnya, ada nilai- nilai tertentu yang harus tetap ditegakkan- demi menjaga citra pemerintah dan yang dapat menjadikan pemerintah, mampu menjalankan tugas dan fungsinya. Diantara nilai- nilai tersebut, ada yang tetap menjadi bagian dari etika dan adapula yang telah ditranspormasikan ke dalam hukum positip. Misalnya, tindakan kolusi dengan kelompok tertentu, lebih tepat dipandang sebagai pelanggaran etika- daripada pelanggaran hukum.

Mengapa lebih cenderung kepada pelanggaran etika ? hukum belum secara rinci mengatur tentang bentuk pelanggaran yang umumnya- berlangsung secara diam- diam dan tersembunyi.
Oleh karena itu, seorang aparatur pemerintah yang ketahuan melakukan tindakan kolusi, sekalipun tidak dapat selalu dituduh melanggar hukum- ia dinilai telah melanggar etika, sehingga secara profesional dan moral, tetap dapat dikenakan sanksi.

III. TUGAS POKOK PEMERINTAHAN

Secara umum, tugas pokok pemerintahan mencakup 7 bidang pelayanan, akan tetapi dapat lebih difokuskan lagi menjadi 3 fungsi yang utama, yaitu : Pelayanan ( service ), pemberdayaan ( empowerment ) dan pembangunan ( development ). Dipandang dari sudut etika, keberhasilan seseorang dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang diamanahkan, haruslah dapat diukur dari ketiga fungsi utama tersebut. Pelayanan yang baik- akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan yang setara- akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan yang merata- akan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Etika pemerintahan, seyogianya dikembangkan dalam upaya pencapaian misi tersebut, artinya- setiap tindakan yang dinilai tidak sesuai- dianggap tidak mendukung- apalagi dirasakan dapat menghambat pencapaian misi dimaksud, seyogianya dianggap sebagai satu pelanggaran etik.
Pegawai pemerintah yang malas masuk kantor, tidak secara sungguh-sungguh melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya, minimal dapat dinilai- telah melanggar etika profesi pegawai negeri sipil. Mereka yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi- kelompok- atau golongan- dengan merugikan kepentingan umum, pada hakikatnya telah melanggar etika pemerintahan.

Urgensi suatu pemerintahan pada level manapun, untuk memiliki pedoman tentang landasan etika bagi para aparatnya dalam rangka mengemban tiga fungsi pemerintahan, menjadi semakin penting dan dibutuhkan. Hanya dengan modal dasar kepribadian yang baik, aparatur pemerintah dapat dibina lebih lanjut- agar membangun komitmen moral yang lebih spesifik untuk mentaati nilai- nilai etika profesinya.

Pada saat yang sama, kewenangan- kewenangan yang melekat pada kekuasaan pemerintahan- perlu disusun dan dibagi kedalam struktur- struktur yang mengikat secara kolektip, saling membatasi, saling mengawasi dan saling terkait satu sama lain- sebagai satu mata rantai yang saling menguatkan. Sehingga, dengan memperkuat kepribadian dan berupaya mengakomodasi kepribadian yang baik- kedalam sistem yang baik, kecenderungan terjadinya power abuse, akan dapat ditekan sampai pada tingkat terendah.

IV. PENUTUP

Dalam pemahaman konteks tersebut, aparatur pemerintah seyogianya- menjadikan dirinya sebagai teladan di dalam pelaksanaan etika, hukum dan konstitusi- dengan kata lain, sudah bukan waktunya lagi, pemerintah dapat begitu saja mengambil hak milik orang lain- tanpa kewenangan yang jelas dan disertai pemberian imbalan atau ganti rugi yang wajar. Singkatnya, setiap warga masyarakat- berhak memperoleh pelayanan dan perlakuan yang adil dari aparatur pemerintah- berdasarkan nilai- nilai etika dan hukum yang berlaku.
Dengan demikian, Etika pemerintahan- tidaklah berdiri sendiri, penegakannya terjalin erat dengan pelaksanaan prinsip penerapan hukum. Itulah sebabnya, maka sebuah pemerintahan yang bersih, yang segala tingkah laku dan produk kebijakannya- berangkat dari komitmen moral yang kuat, hanya dapat dinikmati- oleh refresentasi pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat- dengan lebih baik.-
( Disarikan dari : Makna pemerintahan- tinjauan dari segi etika dan kepemimpinan, Muh. Ryaas Rasyid-2000 )

Catatan : Opini Majene mammis- 9 Maret 2009

***