Senin, 21 Desember 2009

MEMAKNAI KOORDINASI DENGAN BIJAK

I. PENDAHULUAN

Ada hal yang menarik ketika untuk pertama kalinya- pada hari senin 31 November 2009 setelah sekian kali pemerintah Kab. Majene mencoba menerapkan sebuah mekanisme evaluasi terhadap berbagai aktivitas yang telah diselenggarakan dalam kurun waktu tertentu selama ini. Hal yang menarik tersebut, setidaknya menurut penulis pribadi- adalah ketika hampir semua pimpinan satuan kerja perangkat daerah Kab. Majene selaku peserta rapat koordinasi- untuk pertama kalinya bagaikan rombongan paduan suara nyanyi koor, melakukan bedah kasus dan otokritik terhadap pelaksanaan aktivitas kegiatan program dan dana dekonsentrasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat yang khusus dialokasikan di wilayah Kab. Majene selama ini.

Semua hasil akhir pembicaraan pimpinan satuan kerja perangkat daerah tersebut- berakhir pada kata tidak mengetahui baik semi resmi apalagi secara resmi, jika ternyata ada dana dan kegiatan dekonsentrasi yang dilaksanakan melalui institusi yang dipimpinnya- bahkan lebih miris lagi, ketika untuk beberapa persoalan yang bersifat kasuistik- ada beberapa dana dan kegiatan yang ditarik kembali oleh oknum pengelolah di tingkat Provinsi atau dalam bahasa sederhana diungkapkan bahwa dana dekonsentrasi selama ini lebih tepat- kalau dianggap dana rahasia. Pertanyaannya adalah mengapa kondisi ini dapat terjadi di Provinsi yang kita klaim bersama sebagai Provinsi Mala’bi ? apakah pucuk pimpinan di tingkat Provinsi selaku CEO dari sebuah manajemen pemerintah Provinsi Sulawesi Barat- tidak mengetahui hal itu ?

II. APA ITU KOORDINASI

Diantara peserta rapat, ada yang berpendapat bahwa salah satu penyebab dari sekian banyak faktor yang berpengaruh dalam kondisi kekinian adalah faktor lemahnya koordinasi. Boleh jadi memang, pendapat tersebut ada benarnya bahkan sangat kuat benarnya- bahwa hal yang paling mendasar dan urgent mendapat atensi ekstra dari semua pihak- pada tataran birokrasi pemerintahan disetiap level, adalah bagaimana memaknai kata koordinasi yang dalam banyak hal- begitu mudah dilafalkan bahkan menjadi satu frase permakluman yang sangat sering didengung- dengungkan oleh siapa saja pemilik kepentingan, akan tetapi pada saat tataran implementasinya- seakan ada kekuatan gaib yang mampu menahan setiap orang yang hendak melakukannya.

Apa sebenarnya makna dari kata koordinasi ini ? secara sederhana, setelah mencoba menelaah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang koordinasi kegiatan instansi vertikal di daerah- yang walaupun penetapannya jauh sebelum era desentralisasi kepemerintahan dilaksanakan dan masih bernuansa sentralistik, akan tetapi landasan philosofis dan sosiologis ditetapkannya peraturan pemerintah ini- justeru masih sangat relevan dengan kondisi kekinian di daerah yaitu dalam rangka tertib penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan demi terwujudnya keserasian serta keberhasilan pembangunan di daerah.

III. MENGAPA ORANG CENDERUNG SULIT BERKOORDINASI

Dari pemaknaan kata koordinasi yang dicoba diketengahkan di atas- sekiranya secara ekstrim dibahasakan, apabila ada oknum yang dengan sengaja mengingkari aplikasi koordinasi dengan bijak- itu sama artinya telah melakukan sebuah pengingkaran atas kaidah hukum yang telah dilegalisasikan secara hukum positip dalam ranah pembangunan bidang hukum dan kepemerintahan.

Secara empirik, memang rada- rada susah menemukan jawaban yang tepat dan pasti, mengapa orang sangat sulit melaksanakan kata koordinasi pada tataran aplikatif. Boleh jadi, sebagaimana yang pernah penulis angkat dalam tulisan sebelumnya tentang kriteria orang yang menolak proses perubahan, meminjam istilah John P. Kotter dalam What leaders really do- bahwa orang yang cenderung masih sulit berkoordinasi sama dan sebangun dengan sifat orang- orang yang menolak proses perubahan berlangsung secara normal. Mengapa demikian ? karena, karakter dan sifat orang yang sulit melakukan koordinasi dengan karakter dan sifat orang yang menolak perubahan- keduanya secara phisikologis memiliki kecenderungan yang didominasi keresahan dan kecemasan karena pada hakikatnya yang bersangkutan secara sadar tidak mampu bertahan dalam pusaran perubahan itu sendiri.

IV. PENUTUP

Permasalahan koordinasi dengan berbagai variannya- sebenarnya bukan hanya didominasi oleh disharmoni tata hubungan kepemerintahan antara Provinsi dengan Kabupaten/ kota saja- akan tetapi, dalam level internal kepemerintahan kabupaten/ kotapun persoalan koordinasi ini tetap menjadi bahan diskusi antar kelompok yang senang dengan koordinasi tetap dilacikan dengan kelompok yang selalu berupaya memberi spirit perubahan pada setiap aktivitas yang dilaksanakan- tanpa memandang siapa aktor yang mengawali melakukan koordinasi.

Barangkali memang- dibutuhkan sebuah spirit baru dalam kemasan cerdas secara emosional dalam mengusung proses take and give secara selaras dan lebih bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar